fAce dA MuSIc...
Minggu, 07 Februari 2010
Tolong jangan pukul . . .
Di dalam kelas, guru-gurunya juga membawa batangan kayu. Batang kayu tersebut cukup multifungsi; untuk menunjuk papan tulis ketika mengajar, dipukulkan ke meja agar kelas menjadi tenang, juga memukul *lagi-lagi* pantat siswa yang mendapat nilai jelek atau yang membantah guru.
Bukan berarti saya menyetujui hukuman pukul, lho yaa. Tidak adakah cara lain yang lebih baik?
Sewaktu SMP saya pernah satu kali mendapat pukulan dari guru matematika saya. Itu pertama kalinya saya dipukul oleh guru (dan sampai sekarang masih tetap yang pertama.) Saya sempet kesel banget gara-gara itu, terlebih lagi, saya tidak pernah dipukul oleh kedua orang tua saya,,*aduh, ketahuan deh kalau anak manja, hehhe,,* Apalagi penyebabnya menurut saya kurang ok untuk menjadi alasan pemukulan itu, heu..
Simak yah ceritanya : (warning : lebay mode: on)
Pekerjaan rumah atau yang familiar dengan kata PR, saya sudah mengerjakanny dengan sempurna, tak ada cacat, tak ada cela, benar semua jawabannya. Malangnya, seorang kawan saya tidak memberikan jawaban yang tepat hampir di semua nomor yang dia kerjakan. Hal itu memancing emosi sang guru matematika, terlebih lagi ternyata dia tidak menggunakan bantuan gambar (entah ini bab apa, saya tidak dapat mengingatnya). Sang guru lalu memukul siswa tersebut dengan penggaris kayu yang sejatinya adalah alat bantu bagi beliau ketika menggambar grafik di papan tulis. Sang guru lalu berkeliling kelas, memeriksa pekerjaan yang tidak diberi gambar dan memukul siswa tersebut.
Tadinya sang guru tidak mengusik saya, karena beliau melihat pekerjaan saya sudah benar semua. Tiba-tiba, entah siapa, mengadukan kalau saya tidak membuat gambar di pr saya. Demi keadilan dan keberlangsungan kelas supaya tidak ada siswa yang iri, sang guru lalu memukul saya dengan kayu pipih persegi panjang yang memiliki garis-garis skala hingga 100cm, tepat di bahu kiri.
Whaaaat...??
Pukulan itu tidaklah keras. Rasa sakit di lengan saya tidak bertahan lebih dari 30 detik. Tapi, rasanya pukulan itu lebih terasa di dalam hati saya. Saya tidak merasa ada kesalahan dalam diri saya; jawaban saya benar semua, petunjuk pengerjaan soal menyarankan penggunaan grafik JIKA dirasa sulit, ketika memberi tugas sang guru tidak secara spesifik menyuruh menggunakan grafik.
Mungkin memang sang guru hanya menjaga agar tidak muncul kecemburuan sosial di antara para siswa kali ya? T___T
Tak lama kemudian saya diminta mengikuti pelatihan matematika dari sekolah, persiapan untuk mengikuti lomba. Sayangnya saya pindah sebelum sempat mengikuti lomba tersebut.
Saya nggak benci sama sang guru koq, saya juga nggak benci sama matematika. Saya tidak menaruh dendam pada sang guru. Kejadian itu menjadi salah satu kenangan saja, hohho..